Bismillaah, walhamdu lillah, wash-shalaatu was salaamu ‘ala rasulillah wa’ala aalihi wa man waalah, amma ba’du.
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan semesta alam. Salawat dan salam sejahtera untuk Rasul penghulu umat Sayidina Muhammad saw serta Ahlul Baitnya yang suci dari dosa. Salam sejahtera untuk para sahabat-sahabat yang tulus, ikhlas dalam menghadapi cobaan dan derita dan menjadi teladan demi terwujudnya Panji “La ilaha Illallah”.
Ahlul Bait adalah sebuah kata yang mana Alllah dan Rasul-NYA memberikan suatu makna khusus, kekhususan ini bukanlah suatu hal yang mustahil apabila Allah Swt berkehendak dan Allah mustahil memerintahkan suatu pengkultusan yang mencemari iman dan tauhid. Kecintaan kepada mereka diperintahkan kepada umat Islam karena Allah sendiri yang memuji mereka dalam ayat-ayat-NYA. Bahkan kecintaan kepada Ahlul Bait termasuk bagian dari kesempurnaan iman dan sebaliknya.
Sebagain orang yang tidak mengerti cenderung memahami Ahlul Bait dengan pemikiran yang picik dan tidak sesuai dengan maksud yang sebenarnya. Hal itu disebabkan karena kurang mengenal sejarah Islam dengan baik ataupun sejarah yang sampai kepada kita tidak memberikan perhatian tentang siapa dan mengapa Ahlul Bait. Tidak sahnya shalat tanpa menyebut kemuliaan Ahlul Bait adalah merupakan bukti betapa penting kedudukan Ahlul Bait untuk diketahui dan diperkenalkan kepada segenap umat. Walaupun semua ulama mazhab sepakat mengenai hal ini, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai batasan-batasan siapa saja yang termasuk Ahlul Bait.
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai Ahlulbait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya.”(QS. al-Ahzab : 33)
Itulah keluarga yang disucikan Allah. Itulah Ahlul Bait. Itulah keluarga Nabi Saw. Tapi, siapakah tepatnya Ahlul Bait itu? Siapa saja yang termasuk kategori Ahlul Bait seperti yang dimaksud dalam surah al-Ahzab ayat (33) tersebut?
Pendapat Para Ulama
Pemikiran-pemikiran serta tafsir tentang sipakah Ahlul Bait yang termaktub dalam Al-Qur’an al-Karim surah al-Ahzab (33) banyak sekali hingga terbagi ke dalam tujuh kelompok. Jika kita telaah pendapat-pendapat para ulama tersebut, maka kita dapat menyederhanakan pendapat tersebut menjadi tiga kelompok, yaitu:
Kelompok Pertama: Pendapat bahwa para istri Nabi termasuk Ahlul Bait, baik semata-mata atau bersama Ashabul Kisa atau seluruh Bani Hasyim.
Kelompok Kedua: Pendapat bahwa yang termasuk Ahlul Bait adalah Ashabul Kisa, juga Bani Hasyim (Yaitu orang-orang yang diharamkan menerima santunan sedekah), seperti keluarga “Abbas, keluarga’Agil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Ali Karramullahu Wajhah.
Kelompok Ketiga: Pendapat bahwa hanya Ashabul Kisa saja, Yaitu Rasulullah saw, ‘Ali, Fathimah, Hasan, dan Husein—salawat dan salam sejahtera untuk mereka yang termasuk Ahlul Bait.
Imam Muslim dalam Shahih-nya, dari Ummul Mukminin Aisyah ra yang berkata, “Suatu ketika Nabi mengeluarkan selimut dari bulu yang berwarna hitam. Tiba-tiba datanglah Hasan bin Ali, lalu Nabi memasukkan dia ke dalamnya. Lalu datanglah Husein bin Ali dan masuk pula bersama Hasan ke dalamnya. Lalu datang lagi Fathimah. Ia juga masuk ke dalamnya. Lalu datang Ali bin Abi Thalib, dan Nabi pun memasukkan dia ke dalamnya. Kemudian Nabi membaca firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kalian sesuci-sucinya.”
Ahlul Bait sepanjang sejarahnya adalah merupakan gambaran sempurna bagi masyarakat Islam yang ideal. Tatanan masyarakat Islam dalam kerangka Ahlul Bait ialah yang meletakkan cinta dalam bingkainya yang agung. Ia menjadi insiprasi dan sumber kekuatan, tetap ada dan terus disegarkan. Ahlu Bait adalah madrasah nubuwwah, kalau masyarakat itu terbentuk dari kumpulan-kumpulan keluarga, maka Ahlul Bait adalah contoh terbaik dari semua keluarga. Cinta kepada Nabi dan Ahlul Bait sudah ada sejak hari-hari pertama dalam sejarah Islam, baik oleh al-Qur’an, oleh Hadis, maupun oleh akhlak dan tingkah laku Nabi dan karena pergaulan yang mesra dengan Rasulullah saw. Hubungan kecintaan ini dikuatkan oleh rasa senasib dan seperjuangan dalam membela Islam. Ajaran-ajaran Nabi menghilangkan asabiyah, rasa kebanggaan suku dan keturunan, sudah berganti dengan persaudaran yang kokoh sepanjang ajaran iman dan tauhid dan terwujudkan dalam kecintaan kepada Ahlul Baitnya.
Sahabat-sahabat Nabi saw merasa lebih bangga disebut muslim daripada sebutan nama sukunya. Semua mereka mencintai Nabi sebagai pemimpinnya dan Ahlul Bait sebagai pengasuh, sehingga istri-istri Nabi digelarkan “ibu orang-orang beriman”.
Tidak seorang muslim pun yang dapat meragukan betapa besar cintanya para sahabat kepada Nabi saw dan Ahlul Baitnya.
Begitu pula Imam Syafi’i kepada Ahlul Bait sudah umum ketahui orang. Ia mabuk dalam kecintaan ini demikian rupa, sehingga acapkali ia dinamakan Rafidhi. Imam Syafi’i berpendapat bahwa mencintai Ahlul Bait tidak usah diartikan membenci, apalagi mendendam kepada sahabat-sahabat Nabi yang lain.
Pernah ditanya Imam Syafi’i tentang Imam Ali bin Abi Thalib dalam masa itu. Ia lalu menjawab : “Aku tidak akan berbicara tentang seorang tokoh, yang oleh teman-temannya dirahasiakan sejarah hidupnya, dan oleh musuh-musuhnya disimpan karena amarah. Kecintaan ini meluap-luap tiap masa dan tempat bahkan terdapat dalam kalangan yang memusuhinya sekali pun. Apa inikah sebabnya, maka para pencintanya memenuhi Timur dan Barat ?
Perintah Mencintai Ahlul Bait
“ Katakanlah (wahai Muhammad kepada kaummu ), ‘Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang kepada al-Qurba (Ahlul Bait).QS. Asyu’araa’:23
Marilah kita membuka al-Qur’an yang menceritakan kejadian para nabi terdahulu tatkala menyampaikan seruan Ilahi kepada kaumnya.
Nabi Nuh as berkata kepada umatnya : “Dan , ‘Hai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kalian (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanya dari Allah semata.QS. Hud: 29
Nabi Saleh as berkata kepada umatnya : “Dan sekali-kali aku tidak meminta upah kepada kalian atas ajakanku itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.QS. Asy-Syu’araa’:145
Nabi Luth as berkata kepada umatnya : “Dan sekali-kali aku tidak meminta upah kepadamu atas ajakanku itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.QS. Asy-Syu’araa’:164
Nabi Syuaib as berkata kepada umatnya : “Dan sekali-kali aku tidak meminta upah atas ajakanku. Upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.QS. Asy-Syu’araa’:180
Dari penjelasan-penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa para nabi terdahulu—sebelum Nabi Muhammad saw—dalam menyampaikan seruan Ilahi, tidak mengharapkan upah dari kaumnya melainkan semata-mata hanya dari Allah, Tuhan semesta alam. Ini berbeda dengan Nabi Muhammad saw. Beliau meminta upah dari umatnya berupa cinta dan kasih sayang terhadap Ahlul Baitnya atas ajaran yang ia sampaikan melalui suatu perjuangan keras yang membutuhkan ketabahan dan kesabaran luar biasa.
Jadi mencintai Ahlul Bait sama artinya dengan mencintai Rasulullah saw dan pada gilirannya sama artinya dengan mencintai Allah. Teladanilah jejak suci mereka agar kita menjadi umat yang tahu dan pandai bersyukur. Wallahu A’lam.
________________________________________________________________________________________
Ayat Tathir
إِنَّما يُريدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكُمْ تَطْهيراً
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, (hai) Ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih- bersihnya.
Poros Pembahasan
Ayat Tathir merupakan salah satu ayat-ayat yang berkaitan dengan wilayah / kepemimpinan Imam Ali a.s. dan para Imam yang lain. Ayat yang setiap katanya lazim ditelaah ini, secara gamblang juga menginsyaratkan tentang kemaksuman para pribadiagung tersebut.
Mukadimah
Khitab ayat kedua puluh delapan hingga tiga puluh empat surah Al-Ahzab, ditujukan kepada para isteri nabi Saw, hanya saja di antara ketujuh ayat tersebut turun sebuah ayat yang dikenal dengan ayat Tathir dengan kandungan dan nada yang berbeda. Salah satu perbedaan itu adalah dhamir (kata ganti); dalam ayat-ayat sebelumnya sekitar 25 dhamir atau fi’il (kata kerja)berbentuk muannats (perempuan) dan setelah ayat ini juga terdapat dua dhamir dan kata kerja muannats pula. Sedangkan dhamir dan kata kerja yang berada dalam ayat Tathir seluruhnya berbentuk mudazkkarataudhamir yang mencakup kedua jenis atau dhamir yang tidak khusus mengarah kepada kaum perempuan, padahal ayat ini diapit oleh 27 dhamir muannats (khusus kaum hawa) sebelum dan sesudahnya.
Apakah ini sebuah kebetulan semata ataukah hal ini menyimpan sebuah filsafat tertentu?
Tanpa diragukan lagi, ini bukan sebuah kebetulan,melainkan terkandung sebuah rahasia dan sebab yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Jika kandungan ayat Tathir juga mencakup isteri-isteri Rasulullah Saw, lalu mengapa dhamir dan khitab dalam ayat tersebut berubah dan tidak memakai dhamir muannats seperti yang digunakan sebelum dan sesudahnya?
Hal ini secara yakin dapat dipahami bahwa kandungan ayat dan perubahan dhamir dan kata kerja yang terjadi mengindikasikan bahwa isteri-isteri nabi bukan yang dimaksud oleh ayat Tathir ini.
Penjelasan dan Tafsir
Ayat Tathir, Burhan Yang Jelas Atas Kemaksuman
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, setiap kata dari ayat mulia ini perlu dikaji dan direnungkan. Oleh karena itu setiap kata dari ayat ini akan kami bahas satu persatu berikut ini:
1. انما berarti hanya, yang menunjukkan hashr. Dari kata ini dapat dipahami bahwa dalam ayat ini terdapat hal yang tidak dimiliki oleh seluruh kaum muslimin, karena jika pada awalnya memang umum untuk mereka, tidak perlu kata ini disebut di dalamnya.
Dalam ayat ini, kotoran tidak dileyapkan dari semua kaum muslimin, akan tetapi khusus person-person yang telah disebut di sana. Di samping itu, kotoran yang dimaksud juga khusus bukan sembarang kotoran.
Hal ini disebabkanketakwaan yang biasa mencakup semua muslimin dan menghindar dari segala dosa merupakan kewajiban semua orang; sedangkan apa yang dimaksud oleh ayat ini tentu hal yang lebih tinggi dari sekedar ketakwaan biasa.
2. یرید الله Allah menghendaki. Apakah maksud dari kehendak Allah dalam ayat ini? Apakah kehendak itu Tasyri’iyahatau Takwiniyah?
Jawab: untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan secara ringkas arti dari dua iradah ini:
Iradah Tasyri’iyah adalah perintah Allah Swt, dengan kata lain iradah ini adalah kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan-Nya. Ayat seratus delapan puluh lima dari surah Al-Baqarah merupakan salah satu ayat yang menunjukkan iradah ini. Dalam ayat ini, setelah menjelaskan kewajiban puasa di bulan suci Ramadhan dan pengecualian kewajiban ini dari para musafir dan orang-orang yang sakit, Allah Swt berfirman:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَ لاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
”Allah menghendaki kemudahan kalian bukan kesulitan.”
Maksud kehendak Allah dalam ayat ini adalah iradah tasyri’iyah; artinya hukum Allah Swt tentang puasa di bulan Ramadhan adalah hukum yang mudah dan tidak berat; bahkan seluruh hukum Islam bukanlah hukum yang sulit. Oleh karena itu Rasulullah Saw bersabda:
بعثت اليکم بالحنفية السمحة السهلة
” Aku diutus kepada kalian dengan syariat yang mudah.”[1]
Iradah takwiniyahberarti penciptaan; artinya kehendak Allah Swt untuk menciptakan sesuatu atau seseorang.
Contoh iradah ini dapat dijumpai pada ayat delapan puluh dua surah Yasin, di mana Allah berfirman:
إِنَّما أَمْرُهُ إِذا أَرادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
” Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:” Jadilah!” maka terjadilah ia.” Maksud kehendak Allah dalam ayat ini adalah kehendak takwiniyah (penciptaan). Allah Swt Mahakuasa, jika Dia berkehendak untuk menciptakan dunia yang unik dan megah yang sedang kita tinggali ini untuk kedua kalinya, maka itu hanya dengan sekedar memberikan sebuah perintah saja. Bagaimana tidak, Dia Dzat Yang Mahakuasa, dan menurut para ilmuwan, matahari dunia itu besarnya satu juta dua ratus ribu kali lipat besar bumi dan di tata surya terdapat sekitar seratus milyard bintang di mana ukuran sedangnya saja sama dengan ukuran matahari.
Dengan demikian, sedikit banyak kita sudah mengenal dua kehendak Allah Swt di atas. Pertanyaannya sekarang ayat Tathir berkaitan dengan kehendak Allah yang manakah? Artinya apakah Allah menghendaki Ahlul bait a.s. suci dari segala kotoran dan ingin mereka menjauhinya? Atau apakah Allah sendiri yang menjauhkan mereka dari kotoran itu?
Jawab: tanpa diragukan lagi maksud dari kehendak Allah di sini adalah iradah takwiniyah; karena perintah takwa dan menjauhi segala dosa bukan khusus Ahlul bait a.s. akan tetapi semua umat Islam terkena kewajiban ini, dan pada pembahasan sebelumnya telah dipahami bahwa kata انما mengisyaratkan bahwa ini adalah hal yang istimewa yang tidak dimiliki seluruh umat Islam.
Dengan demikian, Allah dengan kehendak takwiniyah-Nya menganugerahkan sebuah kekuatan kemaksuman yang dapat menjaga mereka dari berbagai kesalahan dan dosa serta senantiasa menjaga mereka tetap suci darinya.
Soal: apakah kekuatan ishmah para maksum ini bukan sebuah keterpaksaan? Dengan kata lain, apakah mereka tidak memiliki pilihan untuk melakukan dosa dan tanpa ikhtiar pula mereka melaksanakan segala perintah Allah Swt?
Dengan ungkapan ketiga, apakah jika mereka menginginkan untuk berbuat kesalahan atau dosa, mereka tidak kuasa melakukannya? Jika demikian, makam ishmah bukan hal yang dapat dibanggakan.
Jawab: sesuatu yang mustahil dapat dibagi kepada dua bentuk; mustahil secara logis dan mustahil dari sisi kebiasaan sehari-hari.
Mustahil secara logis adalah sesuatu secara akal sehat tidak mungkin terjadi, seperti pada satu waktu, kita katakan siang hari dan pada waktu itu pula kita katakan malam hari, secara logis ini tidak mungkin terjadi dan mustahil. Atau contoh lain, buku yang sedang kita telaah memiliki 400 halaman tapi kita juga mengatakan buku itu setebal 500 halaman, ini mustahil terjadi, karena secara akal sehat tidak mungkin dua hal yang saling bertentangan dapat bersatu.
Akan tetapi, terkadang sebuah hal secara akal sehat dapat terjadi namun biasanya kebiasaan manusia tidak melakukannya; seperti tidak ada orang yang berakal sehat mau berjalan dengan tanpa busana di gang-gang atau di jalanan. Hal ini secara akal dapat terwujud tapi hal ini tidak biasa terjadi. Oleh karena itu seluruh manusia terjaga dari pekerjaan semacam ini; karena akal sehat dan tidak pernah membolehkan manusia untuk melakukan hal yang buruk semacam itu.
Lebih dari itu, kita akan menemukan sebagian manusia maksum dari hal-hal lain, sebagai contoh musthail seorang ulama tersohor meminum minuman keras pada hari kedua puluh satu bulan suci Ramadhan di dalam mihrab masjid, di atas sajadahnya serta di depan para khalayak.
Pekerjaan ini secara logis dapat terjadi dan dibayangkan, namun secara adat dan kebiasaan itu sulit terjadi; karena posisi dan kepribadian seseorang mencegah hal itu terjadi.
Para maksum terjaga dari semua dosa dan kesalahan, artinya kendati secara logis mungkin saja mereka melakukan penyimpangan, akan tetapi pekerjaan itu mustahil muncul dari mereka; karena ketakwaan dan ilmu mereka terhadap semua dosa begitu gamblang seperti ilmu orang biasa terhadap buruknya bertelanjang keluar dari rumah, manusia biasa terhindar dari pekerjaan semacam ini maka para maksum juga demikian mereka terhindar dari dosa dan nista.
Dengan demikian, ishmah bukan sebuah keterpaksaan dan juga tidak bisa dikatakan bahwa ishmah telah membelenggu ikhtiar mereka untuk melakukan sesuatu.
Konglusinya, kehendak Allah dalam ayat ini adalah iradah takwiniyah dan ishmah tidak melenyapkan ikhtiar dan keinginan para imam sehingga memaksa mereka untuk menjauhi dosa, akan tetapi mereka secara utuh dan sadar memiliki ikhtiar juga.
3. Apakah maksud dari kata الرجس ?
Kata ini berarti kotoran; ia terkadang digunakan untuk kotoran materi terkadang untuk kotoran non materi dan terkadang pula digunakan untuk kedua-duanya. Hal ini sesuai dengan apa yang ungkapkan oleh Ragib dalam kitab Mufradatnya.
Untuk ketiganya, kami akan membawakan bukti dari ayat-ayat al-Quran:
a. Kotoran sipiritual: dalam ayat seratus dua puluh lima surah At-Taubah, disebutkan:
وَ أَمَّا الَّذينَ في قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزادَتْهُمْ رِجْساً إِلَى رِجْسِهِمْ وَ ماتُوا وَ هُمْ كافِرُونَ
” Dan sedangkan mereka yang terdapat penyakit dalam hati mereka, maka kotoran akan bertambah atas kotoran mereka; dan mereka mati dalam keadaan ingkar dan kafir.”
Ungkapan “في قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ” (dalam hati mereka terdapat kotoran), biasanya digunakan untuk kaum munafik dan tanpa diragukan lagi kemunafikan merupakan sebuah penyakit jiwa.
b. Kotoran materi dan dhahir: dalam ayat seratus empat puluh lima surah Al-An’am kita membaca:
قُلْ لا أَجِدُ في ما أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلى طاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ …
” Katakanlah (wahai Rasulullah) aku tidak mendapatkan di dalam wahyu yang aku terima (makanan) yang haram selain bangkai atau darah (hewan yang tumpah keluar dari badannya) atau daging babi, karena sesungguhnya semua benda (di atas) itu rijs dan kotoran…”.
Sangat gamblang sekali jika rijs dalam ayat ini adalah kotoran dhahir.
c. Kotoran maknawi dan dhahiri: rijs yang terdapat dalam ayat sembilan puluh surah Al-Ma’idah digunakan untuk kedua makna; dalam ayat itu disebutkan:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَ الْمَيْسِرُ وَ الْأَنْصابُ وَ الْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
” Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamr, judidan mengundi nasib, itu kotoran dari perbuatan setan, maka jauhilah supaya kalian beruntung.”
Rijs dalam ayat mulia ini, berarti kotoran dhahir juga bermakna kotoran batin; karena minuman keras termasuk hal dhahir sedang perjudian dan mengundi nasib adalah kotoran batin.
Dengan demikian, rijs dalam ayat-ayat Al-Quran memiliki arti umum dan mencakup kotoran dhahir, batin, moral, teologi, ruhani, ragawi dan yang lain. Oleh karena itu, Allah Swt dalam ayat Tathir dengan kehendak takwiniyah-Nya menginginkan untuk menyucikan Ahlul bait a.s. dari segala kotoran dan nista dengan seluruh pengertiannya.
Dalil kami bahwa kotoran itu universal mencakup hal materi maupun non materi adalah kemutlakan kata ini, artinya karena kata ini tidak dibatasi oleh hal-hal lain atau tidak disyaratkan dengan syarat lain.
ويطهركم تطهيرا kalimat ini pada dasarnya penjelas dari kalimat sebelumnya ليذهب عنكم الرجس اهل البيت .
Sesuai ayat ini, Ahlul bait a.s. tersucikan dari segala noda dan nista dan dengan kehendak takwiniyah Allah Swt mereka suci dan maksum.
Siapakah Ahlul bait itu?
Dari ayat Tathir yang mulia telah kita pahami bahwa Ahlul bait memiliki keistimewaan lebih dari para muslim lain yaitu kesucian dan kemaksuman yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Akan tetapi pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah sipakah mereka itu? Siapakah gerangan sosok-sosok yang disucikan tersebut?
Begitu banyak pendapat yang mengemuka sehubungan dengan jawaban soal ini, berikut ini empat pendapat darinya:
- Sebagian ahli tafsir dari kalangan Ahli sunah menafsirkan bahwa Ahlul bait adalah isteri-isteri Nabi Saw.[2] Sesuai penafsiran ini, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain tidak termasuk Ahlul bait. Dengan ungkapan lain Ahlul bait adalah kerabat nabi dari sisi sabab (yang disebabkan oleh perkawinan) dan tidak ada famili beliau dari sisi nasab yang tergolong di dalamnya.
Dalil mereka adalah ayat Tathir terletak di antara ayat-ayat yang turun berkenaan dengan isteri-isteri Nabi Saw, ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Jadi konteks ayat menuntut ayat mulia ini juga berkaitan dengan mereka.
Akan tetapi pendapat ini tidak dapat dibenarkan, dengan tiga dalil:
Pertama, sebagimana telah disebutkan dalam lima ayat sebelumnya dan pada awal ayat ketiga puluh tiga surah Al-Ahzab seluruh dhamir dan fi’ilnya disebut dengan bentuk muannats. Begitu juga dalam ayat setelahnya terdapat dua fiil dan dhamir yang sama. Sedangkan semua dhamir ayat ini berbentuk mudzakkar atau dhamir dan fiilnya tidak khusus untuk para wanta.
Oleh karena itu, dengan memperhatikan bahwa Al-Quran adalah firman Allah Swt yangfasih maka pastilah perubahan dhamir dan fiil memiliki maksud khusus dan jelas maksud dari Ahlul bait adalah sosok selain isteri nabi di mana Allah membedakan konteks ayat ini dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.
Dengan demikian, sesuai penjelasan ini tidak mungkin para isteri nabi yang dimaksud dengan Ahlul bait, dan harus sosok lain yang penetapannya butuh pada pembuktian dan dalil.
Dalil kedua yang membantah kebenaran pendapat ini adalah dengan memperhatikan penjelasan dan tafsir ayat mulia ini, Ahlul bait memiliki kriteria khusus yaitu kemaksuman yang mutlak. Pertanyaannya sekarang, adakah ulama syi’ah maupun Ahli sunah yang mengatakan bahwa para isteri nabi itu maksum? Kendati mayoritas isteri-isteri nabi merupakan orang-orang yang baik, namun tidak mungkin diklaim mereka orang-orang yang maksum, malah sebaliknya dengan berbagai bukti yang gamblang dapat dikatakan sebagian dari mereka telah melakukan sebuah kesalahan fatal. Berikut ini satu contoh dari kesalahan tersebut:
Ali bin Abi Thalib a.s. merupakan satu-satunya khalifah yang selain dilantik oleh Allah secara langsung juga seorang Imam yang mendapat kepercayaan dan pilihan dari masyarakat. Pemilihan itu juga jauh berbeda dengan ketiga khalifah sebelumnya; karena khalifah pertama terpilih melalui beberapa orangdi Tsaqifah Bany Sa’idah di mana kemudian masyarakat terpaksa membai’atnya. Khalifah kedua menaiki singgasana dengan mandat dari khalifah pertama. Khalifah ketiga juga terpilih sebagai pemimpin hanya melalui tiga suara dari enam suara yang telah ditunjuk. Akan tetapi Ali bn Abi Thalib a.s. mencapai haknya dengan dorongan dari masyarakat yang berbondong-bondong membai’at beliau. Bai’at umat manusia kepada beliau saat itu begitu dahsyatnya di mana beliau sendiri menuturkan:” Aku takut Hasan dan Husain terinjak-injak oleh kaki-kakimereka.“[3]
Akan tetapi, (sungguh sayang sekali) salah satu isteri Nabi Saw,telah memberontak dan bangkit melawan pemimpin dan khalifah Rasulullah yang hak. Dia keluar dari kota Madinah dengan menunggangi onta menuju kota Bashrah dan melanggar perintah Rasul yang ditujukan kepada semua isterinya untuk tidak keluar dari rumah setelah kematian beliau. Saat tiba di kawasan Hau’ab dan mendengar gongongan anjing dia (Aisyah) teringat sabda Rasulullah yang bersabda:” Salah satu dari kalian akan menunggangi onta keluar dari Madinah dan akan tiba di kawasan Hau’ab dan di sana dia akan mendengarlolongan anjing, dia (pada dasarnya) telah keluar dari jalan Allah Swt.“
Isteri nabi itu setelah mendengar bahwa kawasan yang sedang diinjak adalah Hau’ab akhirnya berniat untuk kembali; akan tetapi para provokator yang merancang peperangan Jamal memperdaya dan membujuknya untuk tetap melanjutkan perjalanan.[4]
Apakah seorang perempuan semacam ini yang melanggar perintah Rasulullah, menentang imam zamannya dan berperang melawan khalifah serta penyebab tumpahnya darah tujuh belas ribu muslim,dianggap sebagai seorang yang maksum dan jauh dari noda dan nista?
Yang lebih menarik lagi, dia sendiri mengakui kesalahannya dan menjustifikasinya (kendati alasannya itu tidak dapat diterima). Sebagian ulama fanatik Ahli sunah menganggap tindakan itu sebagai ijtihad dan tidak bisa ulahnyaitu dipersoalkan.
Apakah perkataan ini dapat dibenarkan? Apakah ijtihad di hadapan khalifah Rasul yang hak, di mana sang Khalifah menurut Aisyah sendiri adalah “manusia terbaik” dianggap ijtihad yang sahih? Jika hal ini kita terima, maka tidak ada lagi orang yang berdosa, karena setiap kesalahan selalu dijustifikasi dengan busana ijtihad, istinbath dan semacamnya.
Hasilnya, perang jamal tidak dapat dijustifikasi secara logis dan tanpa keraguanlagi perancang perang ini adalah orang-orang yang bersalah dan tidak mungkin mereka dianggap bersih dari noda dan nista.
- Pendapat kedua mengatakan maksud dari Ahlul bait adalah Rasulullah Saw, Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan isteri-isteri beliau.[5]
Sesuai pendapat ini maka isyakalan pertama yang mengarah kepada pendapat pertama dapat dihilangkan; karena sekelompok laki-laki dan perempuan dapat diseru dengan dhamir mudzakkar. Akan tetapi dua isykalan lainnya masih belum terselesaikan yang berkaitan dengan para isteri nabi. Dengan demikian pendapat ini juga tidak dapat dibenarkan.
- Sebagian dari para mufasir menyatakan bahwa Ahlul bait dalam ayat mulia ini adalah para penduduk kota Mekkah dan mengatakan: maksud dari al-Bait yang ada pada kata Ahlul bait adalah rumah Allah, Ka’bah, oleh karena itu mereka yang tinggal di kota Mekkah berarti Ahlul bait.
Kesalahan pendapat ini begitu gamblang sekali, di mana dua isykalan pendapat pertama juga masuk di sana, selain itu keutamaan apakah yang membuat penduduk kota Mekkah lebih unggul dari penduduk kota Madinah sehingga mereka dijauhkan dari dosa dan kesalahan?
- Pendapat keempat adalah pendapat seluruh ulama Syi’ah yang tidak memiliki isykalan-isykalan di atas. Pendapat itu adalah Ahlul bait yang dimaksud oleh ayat mulia itu adalah sosok-sosok tertentu keluarga nabi yang tak lain adalah: Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan ketuanya sendiri, Rasulullah Saw.
Bukti kebenaran pendapat ini adalah pendapat ini jauh dari tiga isykalan di atas. Di samping itu, terdapat banyak riwayat yang menguatkan pendapat keempat ini. Allamah Thaba’thai dalam Al-Mizan menaksir riwayat tersebut sebanyak tujuh puluhan.[6]
Dan yang menarik adalah mayoritas riwayat itu disebut di dalam kitab-kitab hadis standar Ahli sunah, di antaranya:
1. Shahih Muslim.[7] 2. Shahih Tirmizi.[8] 3. Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain.[9] 4. As-Sunanul Kubra.[10] 5. Ad-Durul mantsur.[11] 6. Syawahid Tanzil.[12] 7. Musnad Ahmad.[13]
Oleh karena itu, riwayat-riwayat yang menafsirkan bahwa Ahlul bait adalah lima sosok Ali ‘Aba’ dari sisi kuantitas begitu banyak selain itu juga riwayat-riwayat tersebut tercatat dalam kitab-kitab standar Ahli sunah.
Fakhrur razi berkenaan dengan kuantitas riwayat ini dan kwalitasnya mengungkapkan sebuah penyataan menarik yang dibawakannya saat menafsirkan ayat Mubahalah (ayat 161 surah Ali Imran):” Dan ketahuilah, sesungguhnya riwayat ini merupakan riwayat yang disepakati kesahihannya oleh ahli tafsir dan hadis.“[14]
Hasilnya, riwayat-riwayat yang menafsirkan Ahlul bait ini dari sisi kuantitasdan kualitasnya sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Dari sekian banyak riwayat itu kami akan membawakan satu riwayat saja yaitu hadis Kisa’.
Hadis Kisa’ telah dinukil dengan dua bentuk; terperinci dan ringkas.
Hadis Kisa’ yang terperinci yang biasanya dibaca untuk menyembuhkan penyakit dan menyelesaikan berbagai masalah dan problem, bukan hadis yang mutawatir. Akan tetapi hadis singkatnya merupakan hadis mutawatir di mana kandungannya berbunyi demikian:” Pada satu hari, Nabi Saw diberi sebuah kain, Rasul meminta Ali, Fatimah, Hasan dan husain. Saat mereka datang beliau membeberkain itu dan menaruhnya di atas kepala mereka, kemudian beliau berdoa:” Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah Ahlul baitku, singkirkanlah kotoran dari mereka. Kemudian Jibril datang dan membawa ayat Tathir tersebut.”
Dalam kitab-kitab Ahli sunah terdapat ungkapan berikut ini, di mana Ummi Salamah (salah seorang isteri nabi yang lain) mendekat dan meminta Rasul untuk menutupinya dengan kain itu jugaikut serta bergabung dengan mereka. Rasulullah Saw bersabda: “Kamu orang yang baik, akan tetapi tempatmu bukan di sini.”[15]
Dalam hadis lain ungkapan ini dinukil dari Aisyah.[16]
Dengan demikian, sesuai riwayat ini maksud dari Ahlul bait adalah lima orang Ahli kisa’.
Soal: Apa filsafat dari hal ini semua? Kenapa Rasulullah Saw menutup mereka dengan kain seperti itu dan mengucapkan hal itu kepada kelurga beliau sendiri? Kenapa Ummi Salamah atau Aisyah dilarang oleh beliau untuk bergabung?
Jawab: tujuan Rasulullah Saw melakukan prosesi detail semacam ini adalah sebuah upaya pemisahan. Beliau igin menperkenalkan Ahlul bait tanpa pertanyaan susulan dan isykalan serta berupaya membuang kesamaran dan kemujmalan sehingga masyarakt di masa itu dan selanjutnya tahu atau tidak, tidak lagi memasuk-masukkan orang-orang lain ke dalam definisi Ahlul bait.
Atas dasar ini, beliau juga tidak mencukupkan diri dengan prosesi itu, akan tetapi beliau melakukan hal yang sangat menarik lagi, yang disebut dalam banyak sumber,di antaranya di dalam kitab Syawahid Tanzil (sesuai penuturanAnas bin Malik, pembantu khusus Rasul), Rasulullah Saw setelah peristiwa itu, setiap hari setelah azan Subuh dan sebelum didirikannya shalat jama’ah selalu berdiri di depan rumah Ali dan Fatimah dan mengulang-ulang kalimat berikut ini:” Shalat, wahai Ahlul bait.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, (hai) Ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih- bersihnya.”
Pekerjaan ini dilakukan oleh Rasulullah Saw selama enam bulan berturut-turut.[17]
Riwayat ini juga dinukil dari sahabat Abu said Al-Khudri, di mana dia bertutur:” Rasulullah melakukan hal ini setiap subuh selama delapan bulan.”[18]
Bisa jadi, Rasulullah melanjutkan tindakan ini, hanya saja Anas bin Malik tidak melihat lebih dari enam bulan sedang Abu Said tidak lebih dari delapan bulan.[19]
Oleh karena itu, tujuan Rasulullah Saw dari tindakannya ini adalah memisahkan Ahlul bait dari orang lain dan menentukan mereka secara sempurna dan gamblang. Hal ini telah terlaksana secara baik, karena kita tidak akan mendapatkan hal lain yang diulang-ulang oleh beliau selain masalah ini. Dengan demikian, dengan berbagai penekanan dan penjelasan itu apakah adil jika kita menafsirkan Ahlul bait dengan selain lima sosok agung di atas?
Sebuah soal, dalam masalah yang sangat gamblang seperti ini, di mana kejelasannya laksana siang hari, mengapa masih ada segelintir orang yang tersesat dan berupaya menyesatkan orang lain?
Jawaban soal ini juga gamblang sekali dan itu adalah dikarenakan tafsir bi ray dan praduga,telah menutupi pandangan mereka. Gelapnya penutup ini begitu tebal sehingga mereka tidak melihat terangnya siang hari atau sebagain dari mereka tidak mau menerima sama sekali kenyataan seperti ini.
Jawaban terhadap Beberapa Pertanyaan
Telah muncul beberapa pertanyan seputar ayat Tathir, berikut ini beberapa contoh darinya beserta beberapa jawaban singkatnya:
Soal pertama, akhir kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat Tathir adalah kemaksuman Ahlul bait, artinya Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan Rasulullah sendiri adalah pribadi-pribadi yang terjaga dari dosa dan kesalahan, akan tetapi apa kaitan dan hubungan ayat ini dengan masalah wilayah dan imamah?
Dengan kata lain pembahasan kita berkaitan dengan ayat-ayat yang menunujukkan wilayah dan imamah Amirul mukminin Ali a.s. dan ayat di atas tidak ada hubungannya dengan hal wilayah, hanya kemaksuman beliau saja yang dapat dibuktikan dengannya. Lalu mengapa kita berdalil dengan ayat ini untuk masalah wilayah beliau?
Jawab: jika masalah Ishmah untuk Ahlul biat telah dibuktikan, maka secara tidak langsung masalah imamah mereka juga telah dibuktikan, karena sebagimana telah dijelaskan imam adalah sosok yang ditaati tanpa syarat dan kaid, dan seseorang yang semacam ini adalah seorang yang maksum. Dari sisi lain, jika imam harus dilantik atau dipilih, maka selagiada orang yang maksum tidak perlu kita pergi kepada orang yang tidak maksum.
Allah Swt dalam ayat 124 surah Al-Baqarah saat mendengar doa Ibrahim a.s. yang sudah dilantik sebagai seorang yang berdoa agar anak cucunya juga mendapat gelar agung ini, berfirman:
لا ینال عهدی الظالمین
“ makam (imamah-)Ku ini tidak akan sampai kepada orang-orang yang zalim.“
Dengan demikian ishmah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari imamah dan barangsipa yang sebelum menerima makam ini berlumuran dengan dosa dan kesalahan tidak pantas untuk menjadi seorang imam dan pemimpin.
Pertanyaan kedua, kita menerima bahwa seorang imam harus maksum; akan tetapi apakah setiap orang yang maksum harus menjadi imam? Bukankah sayyidah Zahra’ s.a. adalah sosok maksum, lalu mengapa beliau tidak menjadi seorang Imam?
Jawab: ishmah di kalangan wanita tidak melazimkan imamah, berbeda dengan kalangan laki-laki.
Pertanyaan ketiga: dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa perbedaan dhamir dalam ayat tathir dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya membuat khitab ayat ini bukan para isteri nabi, padahal perbedaan semacam ini juga terjadi padatempat lain di dalam al-Quran, seperti yang terdapat dalam ayat 73 surah Hud, yang menceritakan nabi Ibrahim menjadi sorang ayah di waktu masa tua. Allah berfirman:
قالُوا أَ تَعْجَبينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَتُ اللَّهِ وَ بَرَكاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَميدٌ مَجيدٌ
“Para malaikat itu berkata:” Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? ( Itu adalah ) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Dalam ayat ini isteri nabi Ibrahim menjadi Mukhatab, hanya saja di sini digunakan dhamir mudzakkar, عَلَيْكُمْ?
Jawab: tujuan dari fiil (kata kerja) تَعْجَبينَ adalah isteri nabi Ibrahim saja, sedang عَلَيْكُمْ mengarah kepada seluruh anggota keluarga beliau, laki maupun perempuan, sedang ayat tathir sebagaimana telah dijelaskan tidak termasuk mukhatabnya ayat ini baik secara independen maupun di samping lima Ali aba.
Pertanyaan keempat: jika mukhatab ayat tathir hanya lima orang saja, lalu mengapa ayat ini diletakkan diantara ayat-ayat yang berkaitan dengan isteri-isteri nabi Saw?
Jawab: sebagaimana dijelaskan oleh Allamah Thaba’thabai dan ulama lain, seluruh ayat al-Quran tidak turun secara bersamaan, bahkan satu ayat sekalipun terkadang tidak turun sekaligus. Akan tetapi ayat-ayat itu turun sesuai keperluan dan peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, bisa jadi pada satu waktu kisah para isteri nabi terjadi sehingga turun ayat-ayat yang berkaitan dengan mereka dan setelah beberapa waktu, kisah Ashhab kisa’ dan permintaan nabi untuk penyucian mereka terjadi maka turunlahayat tathir. Dengan demikian, tidak pasti seluruh ayat al-Quran mempunyai ikatan khusus satu sama lain.
Kongklusinya, ayat tathir ini dapat digunakan untuk menetapkan kemaksuman lima orang Ali aba juga dapat digunakan untuk menetapkan kepemimpinan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.
[1] Biharul anwar, jilid 65, halaman 346.
[2] Qurthubi, dalam tafsir Al-Furqan, jilid 6, halaman 5264. Pendapat ini dinukil dari Zujaj.
[3] Nahjul balaghah, khutbah ketiga (Khutbah Syiqsyiqiyah).
[4] Syarah Nahjul balaghah, Ibnu Abil Hadid, jlid 6, halaman 225. (Sesuai penukilan Tarjamah wa Syarh Nahjil balaghah, jilid 1, halaman 403).
[5]At-Tafsirul Kabir, jilid 25, halaman 209.
[6] Al-Mizan, penerjemah, jilid 23 halaman 178.
[7]Shahih Muslim, jilid 4, halaman 1883, hadi ke-2424. (Sesuai penukilan kitab Feyam Quran; pesan Quran, jilid 9, halaman 143).
[8]Ihqaqul hak, jilid 2, halaman 503.
[9]Al-Mustadrak ‘ala Shahihain, jilid 2, halaman 416. (Sesuai penukilan kitab Ihqaqul hak, jilid 2, halaman 504).
[10]As-Sunanul Kubra, jilid 2 halaman 149.
[11]Ad-Durul Mantsur, jilid 5, halaman 198.
[12]Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 10-92.
[13] Musnad Ahmad, jilid 1, halaman 330; jilid 4, halaman 107 dan jilid 6, halaman 292. (Sesuai penukilan kitab Feyam Quran; pesan Quran, jilid 9, halaman 144).
[14] Tafsir Fakhr Razi, jilid 8, halaman 80.
[15] Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 24 dan 31.
[16]Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman37 dan 38.
[17]Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 11-15.
[18] Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 28.
[19]Selama sembilan bulan juga dinukil dari Abu Said. Lihat Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 29.
PERINTAH MENCINTAI KELUARGA NABI SAW
Jabir bin Abdillah ra menuturkan : Seorang Arab Badui pernah datang menjumpai Nabi saw, seraya berkata : “Jelaskan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah saw menjawab : “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan Muhammad itu adalah Hamba dan Rasul-Nya.”
Arab Badui itu bertanya : “Apakah engkau meminta upah dariku ?” Nabi saw menjawab : “Tidak, kecuali mencintai Al Qurba (Keluarga).” Orang Arab Badui itu bertanya lagi : “Keluargaku atau keluargamu ?” Nabi saw menjawab : “Tentu keluargaku.” Lalu, orang Arab Badui itu pun menyatakan : “Kalau begitu, aku membai’atmu bahwa siapapun yang tidak mencintaimu dan juga tidak mencintai keluargamu, maka Allah akan mela’natnya.” Nabi saw menjawab : “Amin.”
{Hilyah Al Awliya jil 3/102}
Firman Allah :
“…Katakanlah ; ‘Aku tidak meminta kepada kalian upah apapun atas seruanku, kecuali mencintai Al Qurba. Dan barang siapa mengerjakan kebaikan, akan Kami tambahkan kebaikan kepadanya. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.”{QS.Asy Syura:23}