Ibrahim Bapak Tauhid

IBRAHIM AS BAPAK TAUHID UMAT MANUSIA



Oleh: Ja'far Subhani

MENGAPA ADA PEMUJAAN KEPADA MAKHLUK

Faktor-faktor  yang  menimbulkan  penyembahan   manusia
kepada  ciptaan  adalah  ketidaktahuannya  dan tuntutan
alami yang  mutlak  dalam  dirinya  yang  pada  umumnya
mempercayai adanya suatu penyebab bagi setiap fenomena.
Di satu sisi, manusia, yang dikuasai oleh kodrat alami,
merasa harus mencari perlindungan di suatu tempat, pada
suatu pewenang kuat yang mampu menciptakan sistem  yang
unik  ini.  Namun,  di  sisi  lain, ketika ia bermaksud
menempuh jalan ini tanpa tuntunan  para  nabi  -pemandu
Ilahi  dan  telah  ditunjuk untuk menjamin kesempurnaan
perjalanan rohani manusia- ia mencari perlindungan pada
makhluk-makhluk  tak-bernyawa,  hewan,  ataupun  sesama
manusia  sebelum  ia  dapat  mencapai  tujuannya   yang
sesungguhnya,  yakni  Tuhan  Yang  Esa, dan mendapatkan
jejak-jejak-Nya dengan mengamati tanda-tanda penciptaan
dan  mencari perlindungan pada-Nya. Oleh karena itu, ia
membayangkan bahwa inilah  obyek  yang  dicari-carinya.
Melihat  ini,  para  ilmuwan mengakui, setelah mengkaji
kitab-kitab Ilahi dan cara bagaimana dakwah disampaikan
kepada manusia oleh para nabi serta argumentasi mereka,
bahwa  tujuan  para  nabi  bukanlah  untuk   meyakinkan
manusia   tentang   adanya   pencipta   alam   semesta.
Sesungguhnya,  peran   mereka   yang   mendasar   ialah
membebaskan manusia dan cengkeraman syirik (politeisme)
dan  penyembahan  berhala.  Dengan  kata  lain,  mereka
datang  untuk  mengatakan kepada manusia, "Hai manusia!
Allah  yang  kita  semua  percaya  akan  keberadaan-Nya
adalah  ini, bukan itu. Ia esa, bukan berbilang. Jangan
memberikan status Allah kepada makhluk. Terimalah Allah
sebagai Yang Esa. Jangan menerima mitra atau sekutu apa
pun bagi-Nya."

Kalimat "tiada Tuhan  selain  Allah,"  membuktikan  apa
yang  kami  katakan  di  atas. Inilah titik mula dakwah
Nabi  Muhammad.  Maksud  kalimat  ini  ialah,  tak  ada
sesuatu  yang  patut  disembah  selain  Allah,  dan ini
berarti bahwa adanya  Pencipta  telah  merupakan  fakta
yang   diakui,  sehingga  manusia  dapat  diajak  untuk
menerima  kemaha-esaan-Nya.  Kalimat  ini   menunjukkan
bahwa di mata manusia zaman itu, bagian pertama -adanya
Tuhan yang menguasai alam semesta-  bukanlah  hal  yang
perlu  dipertengkarkan.  Disamping itu, kajian terhadap
kisah-kisah Qur'ani dan  percakapan  para  nabi  dengan
umat zamannya memperjelas masalah ini.

[Catatan   kaki:   Tetapi,  bagaimana  konsepsi  mereka
tentang  berhala?  Apakah  mereka  memandangnya   patut
disembah  dan  hanya  untuk  menjadi perantara, ataukah
mereka berpikir bahwa berhala-berhala itu pun mempunyai
kekuasaan  seperti  Allah?  Masalah  ini berada di luar
bahasan kita sekarang, walaupun pandangan  pertama  itu
kuat dan terbukti.]

TEMPAT KELAHIRAN NABI IBRAHIM

Jawara   Tauhid  ini  dilahirkan  di  lingkungan  gelap
penyembahan berhala dan  penyembahan  manusia.  Manusia
menundukkan  kerendahan hati kepada berhala yang dibuat
dengan tangannya sendiri, atau kepada  bintang-bintang.
Dalam   situasi  ini,  hal  yang  mengangkat  kedudukan
Ibrahim dan menyukseskan usahanya adalah kesabaran  dan
ketabahannya.

Tempat   kelahiran  pembawa  panji  tauhid  ini  adalah
Babilon. Para sejarawan  telah  menyatakan  negeri  itu
sebagai  salah  satu dari tujuh keajaiban dunia. Mereka
telah mencatat banyak  riwayat  tentang  keagungan  dan
kehebatan   peradaban  wilayah  itu.  Sejarawan  Yunani
kenamaan, Herodotus  (483-425  SM),  menulis,  "Babilon
dibangun  di  sebuah  lapangan  persegi-panjang  setiap
sisinya 480 km (120 league), sehingga kelilingnya 1.920
km.    Pernyataan   ini,   betapapun  dibesar-besarkan,
mengungkapkan  realitas  yang   tak   terbantah-apabila
dibaca bersama tulisan-tulisan lainnya.

Namun,    dari    pemandangannya   yang   menarik   dan
istana-istananya yang tinggi, tak ada lagi  yang  dapat
dilihat  sekarang  selain  tumpukan  lempung, di antara
sungai Tigris  dan  Efrat,  yang  diliputi  kebungkaman
maut.  Kebungkaman  itu  kadang-kadang  dipecahkan oleh
para  orientalis  yang   melakukan   penggalian   untuk
mendapatkan informasi tentang peradaban Babilonia.

Nabi   Ibrahim,  pelopor  tauhid,  dilahirkan  di  masa
pemerintahan  Namrud  putra  Kan'an.  Walaupun   Namrud
menyembah   berhala,  ia  juga  mengaku  sebagai  tuhan
(dewa). Dengan memanfaatkan kejahilan rakyat yang mudah
percaya, ia memaksakan kepercayaannya kepada mereka.

Mungkin  nampak  agak  ganjil  bahwa  seorang penyembah
berhala mengaku pula  sebagai  dewa.  Namun,  Al-Qur'an
memberikan   kepada  kita  suatu  contoh  lain  tentang
kepercayaan  ini.  Ketika  Musa  mengguncang  kekuasaan
Fir'aun   dengan   logikanya   yang  kuat  dan  menguak
kebohongannya  dalam   suatu   pertemuan   umum,   para
pendukung   Fir'aun  berkata  kepadanya,  "Apakah  kamu
membiarkan Musa dan kaumnya membuat kerusakan di negeri
ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?"
(QS, Surah al-A'raf,  7:127).  Telah  termasyhur  bahwa
Fir'aun  mengaku  sebagai  tuhan  dan biasa menyerukan,
"Aku adalah tuhanmu yang  tertinggi."  Namun  ayat  ini
menunjukkan bahwa ia juga seorang penyembah berhala.

Dukungan  terbesar  yang  diperoleh  Namrud datang dari
para  astrolog  dan  penenung  yang  dipandang  sebagai
orang-orang  pintar di zaman itu. Ketundukan mereka ini
membuka  jalan  bagi  Namrud  untuk  memanfaatkan  kaum
tertindas  dan  kalangan  bodoh.  Selain  itu, sebagian
famili Ibrahim, misalnya Azar yang membuat berhala  dan
juga  memahami astrologi, termasuk pengikut Namrud. Ini
saja  sudah  merupakan  halangan  besar  bagi  Ibrahim,
karena  di  samping  harus berjuang melawan kepercayaan
umum itu, ia  juga  harus  menghadapi  perlawanan  kaum
kerabatnya sendiri.

Namrud telah menerjunkan diri ke dalam laut kepercayaan
takhayul. Ia telah membentangkan permadani untuk  pesta
dan   minum-minum   ketika  para  astrolog  membunyikan
lonceng bahaya pertama seraya mengatakan, "Pemerintahan
Anda  akan  runtuh  melalui  seorang putra negeri ini."
Ketakutan laten Namrud bangkit. Ia bertanya, "Apakah ia
telah  lahir  atau  belum?"  Para astrolog itu menjawab
bahwa ia belum lahir. Ia kemudian memerintahkan  supaya
diadakan  pemisahan  antara  perempuan dan laki-laki-di
malam yang, menurut ramalan  para  astrolog,  kehamilan
musuh mautnya itu akan terjadi. Walaupun demikian, para
algojonya  membunuh  anak-anak  laki-laki.  Para  bidan
diperintahkan    untuk   melaporkan   rincian   tentang
anak-anak yang baru lahir ke suatu kantor khusus.

Pada malam itu juga terjadi kehamilan  Ibrahim.  Ibunya
hamil   dan,   seperti   ibu   Musa  putra  'Imran,  ia
merahasiakan  kehamilan  itu.  Setelah  melahirkan,  ia
menyelamatkan  diri ke suatu gua yang terletak di dekat
kota itu, untuk melindungi nyawa anaknya tersayang.  Ia
meninggalkan   anaknya   di   suatu   sudut   gua,  dan
mengunjunginya di waktu siang  atau  malam,  tergantung
situasi.  Dengan  berlalunya waktu, Namrud merasa aman.
Ia percaya bahwa musuh tahta dan pemerintahannya  telah
dibunuh.

Ibrahim  menjalani  tiga belas tahun kehidupannya dalam
sebuah gua dengan lorong  masuk  yang  sempit,  sebelum
ibunya  membawanya  keluar.  Ketika  muncul  di  tengah
masyarakat, para pendukung Namrud merasa bahwa ia orang
asing.  Terhadap  hal  itu,  ibunya  berkata, "Ini anak
saya. Ia lahir sebelum ramalan para astrolog."  (Tafsir
al-Burhan, I, h. 535).

Ketika  keluar  dari  gua, Ibrahim memperkuat keyakinan
batinnya dalam tauhid dengan mengamati bumi dan langit,
bintang-bintang  yang  bersinar, dan pohon-pohonan yang
hijau. Ia menyaksikan masyarakat yang aneh.  Dilihatnya
sekelompok   orang  yang  memperlakukan  sinar  bintang
dengan sangat tolol. Ia  juga  melihat  beberapa  orang
dengan  tingkat  kecerdasan  yang  bahkan lebih rendah.
Mereka membuat berhala dengan tangan sendiri,  kemudian
menyembahnya.  Yang  terburuk dari semuanya ialah bahwa
seorang manusia, dengan mengambil keuntungan secara tak
semestinya dari kejahilan dan kebodohan rakyat, mengaku
sebagai  tuhan  mereka  dan  menyatakan  diri   sebagai
pemberi  hidup  kepada semua makhluk dan penakdir semua
peristiwa.

Nabi Ibrahim  merasa  harus  mempersiapkan  diri  untuk
memerangi tiga kelompok yang berbeda ini.

IBRAHIM BERJUANG MELAWAN PENYEMBAHAN BERHALA

Kegelapan  penyembahan  berhala  telah meliputi seluruh
Babilon, tempat lahir Nabi Ibrahim, Banyak tuhan  dunia
dan  langit  telah  merenggut  hak menalar dan berpikir
dari berbagai lapisan masyarakat. Sebagiannya memandang
tuhan-tuhan itu memiliki kekuasaan sendiri, sedang yang
lainnya memperlakukan mereka  sebagai  perantara  untuk
memperoleh nikmat dari Tuhan Yang Mahakuasa.

RAHASIA POLITEISME

Orang Arab sebelum datangnya Islam percaya bahwa setiap
makhluk dan setiap gejala tentulah  mempunyai  penyebab
tersendiri,  dan  bahwa  Tuhan  Yang  Esa  tidak  mampu
menciptakan semuanya. Pada masa itu,  ilmu  pengetahuan
memang  belum  menemukan  hubungan  antara  makhluk dan
fenomena  alami  serta   berbagai   kejadian.   Sebagai
akibatnya,  orang-orang  itu  mengkhayalkan bahwa semua
mahluk   dan   berbagai    fenomena    alami    berdiri
sendiri-sendiri  dan  tidak  ada kaitan satu sama lain.
Karena  itu,  mereka  menganggap  bahwa  untuk   setiap
fenomena  seperti  hujan  dan  salju,  gempa  bumi  dan
kematian,  paceklik  dan  kesukaran,   perdamaian   dan
ketentraman,   kekejaman  dan  pertumpahan  darah,  dan
sebagainya,  ada  tuhannya  masing-masing.  Mereka  tak
menyadari  bahwa  seluruh  alam  semesta  adalah  suatu
kesatuan,  di  mana  bagiannya   saling   terkait   dan
masing-masingnya mempunyai efek timbal balik.

Pikiran  bersahaja  manusia  masa  itu belum mengetahui
rahasia penyembahan kepada Allah  Yang  Esa  dan  tidak
menyadari  bahwa  Allah  yang  menguasai  alam  semesta
adalah Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahatahu, Pencipta yang
bebas  dari  segala  kelemahan  dan  cacat.  Kekuasaan,
kesempurnaan, pengetahuan, dan  kebijaksanaanNya  tiada
berbatas.  Ia  di  atas segala sesuatu yang dianggapkan
kepada-Nya. Tak ada kesempurnaan yang tidak Ia  miliki.
Tak  ada  kemungkinan yang tak dapat diciptakan-Nya. Ia
adalah Allah Yang Esa  yang  mampu  menciptakan  segala
makhluk  dan  fenomena tanpa bantuan dan dukungan siapa
pun. Ia dapat menciptakan makhluk lain dengan cara yang
sama  sebagaimana  Ia  menciptakan makhluk-makhluk yang
ada sekarang.

Karena itu, secara nalar, adanya perantaraan dari suatu
wewenang  yang  dapat  mengurangi  kemandirian kehendak
Allah  yang  tidak  bersekutu,  tidak  dapat  diterima.
Kepercayaan  bahwa alam semesta mempunyai dua pencipta,
yang satu merupakan sumber kebaikan dan  cahaya  sedang
yang   satu   lagi   merupakan   sumber  kejahatan  dan
kegelapan, juga tak dapat diterima.  Kepercayaan  bahwa
ada  perantaraan  oleh  seseorang,  seperti  Maryam dan
'Isa, dalam hal penciptaan  alam  semesta,  atau  bahwa
pengaturan  tatanan  dunia  fisik telah dikuasakan pada
seorang  manusia,  merupakan  manifestasi  syirik   dan
kelebih-lebihan.  Penganut  tauhid,  dengan rasa hormat
yang  sewajarnya  kepada  para  nabi  dan  orang  suci,
memelihara  keyakinan  pada  Pencipta Alam Semesta, dan
tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.

Metode yang digunakan para nabi untuk memberi pelajaran
dan  tuntutan  kepada  manusia  ialah metode logika dan
penalaran,  karena  mereka  berurusan  dengan   pikiran
manusia.  Mereka berhasrat mendirikan pemerintahan yang
didasarkan pada keimanan,  pengetahuan,  dan  keadilan,
dan   pemerintahan  semacam  itu  tak  dapat  didirikan
melalui kekerasan, peperangan, dan  pertumpahan  darah.
Oleh  karena  itu,  kita  harus membedakan pemerintahan
para  nabi  dengan  pemerintahan  Fir'aun  dan  Namrud.
Tujuan  dari  kelompok  yang  kedua  ini  ialah amannya
kekuasaan dan pemerintahan mereka  dengan  segala  cara
yang  mungkin,  sekalipun  negara  akan  runtuh setelah
mereka mati.  Sebaliknya,  orang-orang  suci  bermaksud
mendirikan  pemerintahan  yang  membawa  maslahat  pada
individu maupun masyarakat, baik penguasa itu kuat atau
lemah  pada  suatu  waktu  tertentu, sementara ia hidup
maupun sesudah ia mati. Tujuan semacam itu  tentu  saja
tak dapat dicapai dengan kekerasan dan tekanan.

Ibrahim  pertama-tama berjuang melawan kepercayaan kaum
kerabatnya  yang  menyembah  berhala,  di   mana   Azar
merupakan  pentolannya.  Sebelum  mencapai keberhasilan
penuh dalam bidang ini, ia sudah  harus  berjuang  pada
bidang  operasi  lainnya. Taraf pemikiran kelompok yang
kedua ini agak lebih tinggi dan lebih jelas  dari  yang
pertama.  Berlawanan  dengan agama para famili Ibrahim,
mereka ini telah membuang makhluk-makhluk duniawi  yang
hina  dan  tak berharga, lalu memuja bintang di langit.
Ketika melawan  pemujaan  bintang,  Ibrahim  menyatakan
dengan kata-kata sederhana sejumlah kebenaran filosofis
dan ilmiah yang belum dipahami oleh  manusia  di  zaman
itu,   bahkan   sekarang   pun  argumennya  menimbulkan
kekaguman para sarjana yang sangat mengenal seni logika
dan perdebatan. Di atas semua ini, Al-Qur'an juga telah
mengutip argumen-argumen  Ibrahim,  dan  kami  mendapat
kehormatan untuk mengutipnya dengan penjelasan singkat.

Untuk dapat menuntun masyarakatnya, suatu malam Ibrahim
menatap ke langit  di  saat  terbenamnya  matahari  dan
terus   terjaga   hingga   ia  terbenam  lagi  di  hari
berikutnya.  Selama  24  jam  ini   ia   berdebat   dan
berdiskusi   dengan   tiga  kelompok,  dan  menyalahkan
kepercayaan mereka dengan argumen-argumennya yang kuat.

Kegelapan  malam  mendekat  dan  menyembunyikan  segala
tanda  kehidupan.  Bintang  Venus yang cemerlang muncul
dari suatu sudut cakrawala.  Untuk  merebut  hati  para
pemuja  Venus,  Ibrahim menyesuaikan diri dengan mereka
dan mengikuti garis pikiran mereka  seraya  mengatakan,
"Itu  adalah  pemeliharaku."  Namun, ketika bintang itu
tenggelam dan menghilang di suatu  sudut,  ia  berkata,
"Saya  tak dapat menerima tuhan yang tenggelam." Dengan
penalarannya yang alami, ia  menolak  kepercayaan  para
pemuja Venus dan membuktikan kebatilannya.

Pada  tahap  berikutnya,  matanya tertuju pada bundaran
bulan yang bercahaya terang  dengan  keindahannya  yang
memukau.  Dengan  maksud  merebut  hati  pemuja  bulan,
secara lahiriah ia bersikap  seakan  bulan  itu  tuhan,
tapi  kemudian  ia  merontokkan  kepercayaan itu dengan
logikanya yang kuat. Demikianlah, ketika Yang Mahakuasa
membenamkan  bulan  itu  di balik cakrawala, dan cahaya
serta keindahannya lenyap dari muka  bumi,  maka  tanpa
menyinggung  perasaan  para  pemuja  bulan itu, Ibrahim
berkata,  "Apabila  Tuhanku  yang  sesungguhnya   tidak
membimbing aku, tentulah aku tersesat, karena tuhan ini
terbenam seperti bintang dan tunduk pada suatu  tatanan
dan  sistem  yang pasti yang dibentuk oleh sesuatu yang
lain."

Kegelapan  malam  berakhir  dan  matahari  pun  muncul,
membuka cakrawala, dan menyebarkan sinar keemasannya ke
muka  bumi.  Para  pemuja  matahari  memalingkan  wajah
mereka    kepada   tuhannya.   Untuk   menaati   aturan
perdebatan,  Ibrahim  juga  bersikap  seolah   mengakui
ketuhanan   matahari.   Namun,   terbenamnya   matahari
mengukuhkan bahwa ia  tunduk  pada  suatu  sistem  alam
semesta   yang   umum,   dan   Ibrahim  secara  terbuka
menolaknya  sebagai  yang  patut  disembah.(lihat   QS,
al-An'am, 6:75-79)

Tak  diragukan  bahwa  saat  tinggal  di  gua,  melalui
anugerah Ilahi yang  luar  biasa,  Ibrahim  mendapatkan
dari sumber yang gaib pengetahuan batin tentang tauhid,
yang merupakan kekhususan  para  nabi.  Namun,  setelah
memperhatikan  dan mengkaji benda-benda langit, ia juga
memberikan bentuk  argumentasi  pada  pengetahuan  itu.
Dengan  demikian,  di  samping  menunjukkan  jalan yang
benar  kepada  manusia  dan  memberikan  kepada  mereka
sarana    bimbingan,    Ibrahim    telah   meninggalkan
pengetahuan yang  tak  ternilai  untuk  digunakan  oleh
orang-orang yang mencari kebenaran dan realitas.

PENJELASAN LOGIKA IBRAHIM
 
Ibrahim  sangat  menyadari  bahwa  Allah menguasai alam
semesta, tetapi  pertanyaannya  adalah:  Apakah  sumber
kekuatan  itu terdiri dari benda-benda langit ini, atau
suatu  Wujud  Yang   Mahakuasa,   yang   lebih   tinggi
daripadanya?  Setelah  mengkaji  kondisi-kondisi  benda
yang  berubah-ubah  ini,  Ibrahim   mendapatkan   bahwa
wujud-wujud  yang cerah dan bersinar itu sendiri tunduk
pada ketetapan -terbit, terbenam, dan  lenyap-  menurut
sistem  tertentu dan berotasi pada suatu jalan yang tak
berubah-ubah. Ini membuktikan bahwa mereka tunduk  pada
kehendak  dari  sesuatu  yang lain; suatu kekuatan yang
lebih  besar  dan  lebih  kuat  mengontrol  mereka  dan
membuat   mereka   berotasi   pada   orbit  yang  telah
ditentukan.
 
Marilah kita  bahas  masalah  ini  lebih  lanjut.  Alam
semesta   sepenuhnya   memiliki  "peluang-peluang"  dan
"kebutuhan-kebutuhan." Berbagai  makhluk  dan  fenomena
alami  tak  pernah  lepas  dari  Yang Mahakuasa. Mereka
membutuhkan Tuhan Yang  Mahatahu  dalam  setiap  detik,
siang  dan  malam  - Tuhan yang tidak pernah lalai akan
kebutuhan mereka.  Benda-benda  langit  itu  hadir  dan
diperlukan  pada  suatu  saat  dan  tak hadir serta tak
berguna pada saat  lainnya.  Wujud  seperti  itu  tidak
mempunyai kemampuan yang diperlukan untuk menjadi tuhan
dan  wujud  lainnya,  untuk  memenuhi   kebutuhan   dan
keperluan mereka
 
Teori   ini   dapat  diperluas  dalam  bentuk  berbagai
pernyataan  teoritis  dan  filosofis.  Misalnya,   kita
mungkin mengatakan: Benda-benda langit ini bergerak dan
berputar   pada   sumbunya    masing-masing.    Apabila
gerakannya   itu   tanpa   pilihan   dan  atas  paksaan
semata-mata, tentulah ada tangan yang lebih  kuat  yang
mengendalikannya.   Apabila  gerakannya  sesuai  dengan
kehendaknya sendiri,  haruslah  dilihat  apakah  tujuan
dari   gerakan   itu.  Apabila  mereka  bergerak  untuk
mencapai kesempurnaan, seperti benih yang bangkit  dari
bumi  untuk  tumbuh menjadi pohon dan berbuah, maka itu
berarti mereka memerlukan suatu wujud yang  independen,
kuasa,    dan   bijaksana   yang   akan   menyingkirkan
kekurangan-kekurangan mereka dan menganugerahkan kepada
mereka  sifat  kesempurnaan. Apabila gerakan dan rotasi
mereka menuju  kepada  kelemahan  dan  kekurangan,  dan
halnya  seperti  orang yang melewati usia puncaknya dan
memasuki  sisi  usia  yang  salah,  maka  itu   berarti
gerakannya  cenderung kepada kemunduran dan kehancuran,
dan dengan demikian tidak sesuai dengan posisi  sebagai
tuhan yang akan menguasai dunia dan segala isinya.
 
METODE DISKUSI DAN DEBAT PARA NABI
 
Sejarah  para  nabi  menunjukkan  bahwa  mereka memulai
program  reformasi  dengan  mengundang   para   anggota
keluarga  mereka  kepada  jalan  yang  benar,  kemudian
mereka memperluas dakwah itu  kepada  orang  lain.  Ini
pulalah  yang  dilakukan  Nabi  Muhammad segera setelah
beliau  ditunjuk  sebagai  nabi.  Pertama-tama   beliau
mengajak  kaumnya  sendiri kepada Islam, dan meletakkan
fundasi dakwahnya pada reformasi mereka, sesuai  dengan
perintah   Allah,   "Dan   berilah   peringatan  kepada
kerabat-kerabatmu yang  terdekat."  (QS,  asy-Syu'ara',
26:2l3)
 
Ibrahim  juga  mengambil  metode  yang  sama. Mula-mula
beliau  berusaha  mereformasi  kaum  kerabatnya.   Azar
menduduki   posisi   yang  sangat  tinggi  di  kalangan
familinya,  karena,  selain  terpelajar   dan   seorang
seniman,  ia  juga  ahli  astrologi.  Di istana Namrud,
kata-katanya       sangat       berpengaruh,        dan
kesimpulan-kesimpulan   astrologinya   diterima   semua
penghuni istana.
 
Ibrahim sadar bahwa apabila ia herhasil meraih Azar  ke
pihaknya maka ia akan merebut benteng terkuat dari para
penyembah berhala. Oleh karena  itu,  ia  menasihatinya
dengan  cara  sebaik  mungkin  supaya  tidak  mcnyembah
benda-benda mati. Tetapi, karena beberapa alasan,  Azar
tidak  menerima  ajakan  dan  nasihat  Ibrahim.  Namun,
sejauh berhubungan dengan kita,  hal  terpenting  dalam
episode  ini  ialah metode dakwah dan bentuk percakapan
Ibrahim dengan Azar. Lewat kajian mendalam  dan  cermat
terhadap  ayat-ayat  Al-Qur'an  yang merekam percakapan
ini, metode argumen dan dakwah yang ditempuh para  nabi
itu  menjadi  amat  sangat  jelas.  Marilah  kita lihat
bagaimana  Ibrahim  mengajak  Azar  kepada  jalan  yang
benar:
 
"Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, 'Wahai
ayahku,  mengapa  kamu  menyembah  sesuatu  yang  tidak
mendengar;  tidak  melihat,  dan  tidak  menolong  kamu
sedikitpun. Wahai  ayahku,  sesungguhnya  telah  datang
kepadaku  sebagian  ilmu  pengetahuan yang tidak datang
kepadamu,  maka  ikutilah   aku,   niscaya   aku   akan
menunjukkan  kepadamu  jalan  yang lurus. Wahai ayahku,
janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya  syaitan
itu  durhaka  kepada  Tuhan  Yang  Maha  Pemurah. Wahai
ayahku,  sesungguhnya  aku  khawatir  bahwa  kamu  akan
ditimpa  azab  dan  Tuhan  Yang  Maha Pemurah, sehingga
jadilah kamu kawan syaitan.'" (QS, Maryam, 19:42-45)
 
Sebagai jawaban  atas  ajakan  Ibrahim,  Azar  berkata,
"Beranikah   engkau   menyangkal   tuhan-tuhanku,   hai
Ibrahim? Bertobatlah dari ketololan itu!  Kalau  tidak,
engkau  akan dirajam sampai mati. Keluarlah segera dari
rumahku!"
 
Ibrahim yang murah hati menerima kata-kata  kasar  Azar
ini  dengan ketenangan sempurna seraya menjawab, "Salam
atasmu.  Aku  akan   memohon   kepada   Tuhanku   untuk
mengampunimu."
 
Adakah  jawaban yang lebih pantas dan ucapan yang lebih
patut daripada kata-kata Ibrahim ini?
 
APAKAH AZAR AYAH IBRAHIM?
 
Ayat-ayat yang dikutip di atas, maupun ayat (15)  surah
at-Taubah  dan (14) surah al-Mumtahanah, seakan memberi
kesan hubungan Azar dengan  Ibrahim  sebagai  ayah  dan
anak.  Namun,  perlu  diinformasikan di sini bahwa dari
perspektif Syi'ah, penyembah berhala Azar sebagai  ayah
Ibrahim  tidaklah  sesuai  dengan  konsensus para ulama
mereka yang percaya bahwa nenek  moyang  Nabi  Muhammad
maupun semua nabi lainnya adalah orang-orang takwa yang
beriman  tauhid.  Ulama  besar  Syi'ah,  Syekh   Mufid,
memandang anggapan ini sebagai salah satu pendapat yang
disepakati seluruh  ulama  Syi'ah  dan  sejumlah  besar
ulama  Sunni  (lihat  Awa'il al-Malaqat, hal. 12). Oleh
karena  itu,  timbul  pertanyaan:  Apakah  sesungguhnya
maksud  ayat-ayat  yang nampak jelas itu, dan bagaimana
masalah ini harus dipecahkan?
 
Banyak mufasir Al-Qur'an menegaskan bahwa walaupun kata
ab  dalam  bahasa  Arab  biasanya  digunakan dalam arti
"ayah," kadang-kadang kata  itu  juga  digunakan  dalam
leksikon  Arab  dan  terminologi  Al-Qur'an  dalam arti
"paman." Dalam ayat berikut, misalnya, kata ab  berarti
"paman"
 
"Adakah    kamu    hadir   ketika   Ya'qub   kedatangan
[tanda-tanda]   maut,   ketika   ia   berkata    kepada
anak-anaknya,  'Apa  yang  kamu  sembah sepeninggalku?'
Mereka menjawab, 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan
ab-Smu,  [yakni]  Ibrahim,  Isma'il, dan Ishaq, [yaitu]
Tuhan Yang  Maha  Esa,  dan  kami  hanya  tunduk  patuh
kepada-Nya." (QS, al-Baqarah, 2:133)
 
Tiada keraguan bahwa Isma'il adalah paman Ya'qub, bukan
ayahnya, karena Ya'qub adalah putra Ishaq yang  saudara
Isma'il.    Walaupun   demikian,   putra-putra   Ya'qub
memanggilnya "ayah Ya'qub" yakni ab Ya'qub. Karena kata
ini  mengandung  dua  makna,  maka  pada ayat-ayat yang
berhubungan dengan diajaknya Azar ke jalan  yang  benar
oleh Ibrahim, boleh jadi yang dimaksud dengannya adalah
"paman."  Dan  boleh  jadi  pula  Ibrahim  memanggilnya
"ayah,"  karena ia telah bertindak sebagai wali baginya
dalam waktu  yang  panjang,  dan  Ibrahim  memandangnya
sebagai ayahnya.
 
AZAR DALAM AL-QUR'AN
 
Dengan  maksud  untuk  mendapatkan  keputusan Al-Qur'an
tentang hubungan Ibrahim dengan Azar, kami merasa perlu
mengundang perhatian pembaca pada keterangan dua ayat:
 
1. Sebagai akibat usaha keras Nabi, Arabia disinari
cahaya Islam. Kebanyakan rakyat memeluk agama ini
dengan sepenuh hati, dan menyadari bahwa syirik dan
pemujaan berhala akan berakhir di neraka. Walaupun
mereka bahagia karena telah memasuki agama yang benar,
mereka merasa sedih mengingat nenek moyang mereka
yang penyembah berhala. Mendengar ayat-ayat yang
menggambarkan nasib kaum musyrik di Hari Pengadilan,
terasa berat bagi mereka. Untuk menjauhkan siksaan
mental ini, mereka memohon kepada Nabi untuk berdoa
kepada Allah bagi keampunan nenek moyang mereka yang
telah mati sebagai orang kafir, sama sebagaimana
Ibrahim berdoa bagi Azar. Namun, ayat berikut
diwahyukan sebagai jawaban atas permohonan mereka:
 
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang
musyrik, walaupun orang musyrik itu adalah kaum
kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.
Permintaan ampun dari Ibrahim kepada Allah untuk
ayahnya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang
telah diikrarkannya kepada ayahnya itu. Tatkala jelas
bagi Ibrahim bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah,
Ibrahim pun berlepas diri darinya. Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya
bagi penyantun." (QS, at-Taubah, 9:113-114)
 
Akan nampak lebih masuk akal apabila percakapan
Ibrahim dengan Azar, dan janjinya kepada Azar untuk
mendoakan bagi keampunannya, yang berakhir dengan
putusnya hubungan serta perpisahan mereka, terjadi
ketika Ibrahim masih muda, yakni ketika ia masih
tinggal di Babilon dan belum berniat ke Palestina,
Mesir, dan Hijaz. Setelah mengkaji ayat ini, dapat
disimpulkan bahwa Azar bersikeras pada kekafiran dan
penyembahan berhalanya, dan Ibrahim, yang masih muda,
memutuskan hubungannya dengan Azar dan tak pernah
memikirkannya lagi sesudah itu.
 
2. Di bagian terakhir masa hidupnya, yakni ketika ia
telah lanjut usia, setelah melaksanakan sebagian besar
tugasnya (yakni pembangunan Ka'bah) dan membawa istri
dan anaknya ke gurun kering Mekah, ia berdoa dari lubuk
hatinya bagi sejumlah orang, termasuk kedua orang
tuanya, dan memohon agar doanya dikabulkan Allah. Pada
waktu itu beliau berdoa, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah
aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang mukmin pada
hari terjadinya hisab (hari kiamat)." (QS, Ibrahim
14:41)
 
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa doa itu
diucapkan setelah selesainya pembangunan Ka'bah, ketika
Ibrahim sudah berada di usia tuanya. Apabila sang ayah
dalam ayat ini, yang kepadanya telah ia persembahkan
cinta dan bakti dan yang didoakannya, adalah Azar itu,
maka ini akan berarti bahwa Ibrahim tidak berlepas diri
darinya sepanjang hidupnya, dan terkadang beliau juga
berdoa untuknya. Padahal, ayat pertama, yang diwahyukan
sebagai jawaban atas permohonan para keturunan
musyrikin itu, menjelaskan bahwa setelah suatu waktu,
ketika ia masih muda, Ibrahim telah memutuskan segala
hubungan dengan Azar dan menjauh darinya - berlepas
diri berarti tidak lagi saling berbicara, tidak peduli,
dan tidak saling mendoakan keselamatan.
 
Ketika dua ayat ini dibaca bersama-sama, terlihat jelas
bahwa  orang yang dibenci Ibrahim di usia mudanya, yang
dengannya ia memutuskan segala hubungan kepentingan dan
cinta,  bukanlah  orang  yang  diingatnya  hingga  usia
tuanya, yang  untuk  keampunan  dan  keselamatannya  ia
berdoa (lihat Majma' al-Bayan, III, hal. 319; al-Mizan,
VII, 170).
 
IBRAHIM, SI PENGHANCUR BERHALA
 
Saat perayaan mendekat, penduduk Babilon  berangkat  ke
hutan untuk melepaskan lelah, memulihkan tenaga mereka,
dan melaksanakan upacara  perayaan  itu.  Kota  menjadi
sepi.  Perbuatan  Ibrahim, celaan dan kecamannya, telah
mencemaskan mereka. Karena itu, mereka mendesak Ibrahim
untuk pergi bersama mereka dan ikut serta dalam upacara
perayaan.  Namun,  usul  dan  desakan   mereka   datang
bertepatan dengan sakitnya Ibrahim. Karena itu, sebagai
jawabannya, Ibrahim mengatakan  sedang  sakit  dan  tak
akan menyertai upacara perayaan itu.
 
Sesungguhnya,  itulah  hari  gembira  bagi  sang  tokoh
tauhid, sebagaimana bagi para musyrik  itu.  Bagi  kaum
musyrik,  itu  adalah  pesta  perayaan yang sangat tua.
Mereka pergi ke kaki gunung di lapangan-lapangan  hijau
untuk  melaksanakan  upacara  perayaan dan menghidupkan
adat kebiasaan nenek  moyang  mereka.  Bagi  si  jawara
tauhid,  hari itu pun merupakan hari raya besar pertama
yang  telah  lama  dirindukannya,  untuk  menghancurkan
manifestasi  kekafiran  dan  kemusyrikan,  ketika  kota
sedang bersih dan lawan-lawannya.
 
Ketika "keloter" terakhir penduduk  meninggalkan  kota,
Ibrahim  merasa bahwa saat itulah kesempatannya. Dengan
hati penuh keyakinan  dan  iman  kepada  Allah,  beliau
memasuki  rumah  berhala.  Di dalamnya beliau menemukan
penggalan-penggalan kayu berpahat, berhala-berhala yang
tak  bernyawa.  Ia  ingat  akan  banyaknya makanan yang
biasa dibawa oleh para penyembah berhala ke kuil mereka
sebagai   sajian  untuk  beroleh  rahmat.  Beliau  lalu
mengambil  sepiring  roti  yang  ada  di  situ.  Sambil
mengunjukkannya   kepada  berhala-berhala  itu,  beliau
berkata mengejek,  "Mengapa  tidak  kamu  makan  segala
macam  makanan ini?" Tentulah tuhan buatan kaum musyrik
itu tak mampu bergerak  sedikit  pun,  apalagi  memakan
sesuatu. Keheningan membisu menguasai kuil berhala yang
luas itu,  yang  hanya  terpecah  oleh  pukulan-pukulan
keras    Ibrahim   pada   tangan,   kaki,   dan   tubuh
berhala-berhala itu.  Ia  menghancurkan  semua  berhala
itu,  hingga menjadi tumpukan puing kayu dan logam yang
berhamburan di tengah kuil itu. Tetapi,  ia  membiarkan
berhala  yang  paling  besar,  lalu meletakkan kapak di
bahunya. Ini dilakukannya dengan sengaja. Ia tahu bahwa
ketika  kembali  dari hutan, kaum musyrik akan memahami
kedudukan sesungguhnya dan akan memandang situasi  yang
nampak itu sebagai sengaja dibuat-buat, karena tak akan
mungkin    mereka    percaya     bahwa     penghancuran
berhala-berhala  lain  itu telah dilakukan oleh berhala
besar yang sama sekali tak berdaya untuk bergerak  atau
melakukan  sesuatu.  Pada  saat  itu,  beliau  pun akan
menggunakan situasi itu untuk  dakwah.  Mereka  sendiri
akan  mengaku  bahwa  berhala  itu  sama  sekali  tidak
mempunyai kekuatan.  Maka  bagaimana  mungkin  ia  akan
menjadi penguasa dunia?
 
Matahari  bergerak  turun  di  cakrawala.  Orang  mulai
pulang  berkelompok-kelompok  ke  kota.   Waktu   untuk
melaksanakan  upacara  pemujaan  berhala  pun tiba, dan
sekelompok penyembah berhala memasuki kuil. Pemandangan
yang   tak   terduga,  yang  dengan  jelas  menunjukkan
nistanya    dan    rendahnya    tuhan-tuhan     mereka,
menghentakkan   mereka   semua.   Hening  seperti  maut
meliputi kuil itu. Setiap orang gelisah. Tetapi,  salah
seorang  di  antara  mereka memecahkan kesunyian dengan
berkata, "Siapa yang telah  melakukan  kejahatan  ini?"
Kutukan  terhadap  berhala  oleh Ibrahim di waktu lalu,
dan kecamannya yang terang-terangan  terhadap  pemujaan
berhala,  meyakinkan  mereka  bahwa  hanya  dialah yang
mungkin melakukan  semua  itu.  Sidang  pengadilan  pun
diadakan  di  bawah  pengawasan  Namrud,  dan si remaja
Ibrahim serta ibunya dibawa ke pengadilan.
 
Si ibu dituduh  menyembunyikan  kelahiran  anaknya  dan
tidak melaporkannya ke kantor khusus pemerintahan untuk
dibunuh. Ia memberikan jawaban atas tuduhan itu,  "Saya
menyimpulkan  bahwa  sebagai  akibat keputusan terakhir
pemerintah  waktu  itu  -yakni  pembunuhan   anak-anak-
manusia  di  negara  ini sedang dimusnahkan. Saya tidak
memberitahukan kepada kantor pemerintah  tentang  putra
saya,  karena  saya hendak melihat bagaimana ia maju di
masa depan. Apabila ia membuktikan diri  sebagai  orang
yang  telah  diramalkan  para pendeta peramal itu, akan
ada alasan bagi saya untuk melaporkannya kepada  polisi
agar  mereka  tidak  lagi  menumpahkan  darah anak-anak
lain. Dan apabila ia ternyata  bukan  orang  itu,  maka
saya  telah  menyelamatkan  seorang  muda di negara ini
dari pembunuhan." Argumen ibu itu sangat memuaskan para
hakim.
 
Sekarang  Ibrahim diperiksa. "Keadaan menunjukkan bahwa
berhala besar telah melakukan semua  pukulan  itu.  Dan
apabila  berhala  itu  dapat  berkata,  sebaiknya  Anda
tanyakan  kepadanya."  Jawaban   bernada   ejekan   dan
penghinaan ini dimaksudkan untuk mencapai sasaran lain.
Ibrahim  yakin  bahwa  orang-orang  itu  akan  berkata,
"Ibrahim!  Engkau tahu sepenuhnya bahwa berhala-berhala
itu tak dapat berbicara.  Mereka  pun  tidak  mempunyai
kehendak  atau  akal."  Dalam  hal  itu,  Ibrahim dapat
meminta perhatian sidang pengadilan  tentang  satu  hal
yang  mendasar. Kebetulan, apa yang terjadi sama dengan
yang  diharapkannya.   Sehubungan   dengan   pernyataan
orang-orang  itu  yang membuktikan kelemahan, kehinaan,
dan  tidak  berdayanya  berhala-berhala  itu,   Ibrahim
berkata,  "Apabila mereka memang demikian, mengapa kamu
menyembah dan berdoa kepada  mereka  untuk  mengabulkan
permohonan kamu?"
 
Kejahilan, keras kepala, dan peniruan membuta menguasai
hati dan pikiran para hakim. Terhadap  jawaban  Ibrahim
yang  tak  terbantah  itu, mereka tidak beroleh pilihan
lain kecuali memberikan keputusan  yang  sesuai  dengan
keinginan  pemerintah  masa  itu. Ibrahim harus dibakar
hidup-hidup.
 
Setumpukan besar  kayu  bakar  dinyalakan,  dan  jawara
tauhid  itu  dilemparkan  ke  dalam  api yang berkobar.
Namun, Allah Yang Mahkuasa mengulurkan tangan kasih dan
rahmat-Nya  kepada  Ibrahim  dan  menjadikanNya  kebal.
Allah mengubah neraka buatan manusia itu menjadi  taman
hijau yang sejuk.

PELAJARAN DARI RIWAYAT IBRAHIM
 
Walaupun  orang  Yahudi mengaku sebagai pelopor kafilah
penganut tauhid, riwayat ini tak  masyhur  di  kalangan
mereka  dan  tidak beroleh tempat dalam Taurat yang ada
sekarang. Di antara kitab-kitab Ilahi, hanya  Al-Qur'an
yang  telah  meriwayatkannya.  Oleh  karena  itu,  kami
sebutkan di bawah ini beberapa  pokok  yang  mengandung
pelajaran bagi manusia, suatu hal yang memang merupakan
tujuan  pokok  Al-Qur'an  ketika  meriwayatkan  sejarah
berbagai nabi.
 
1. Riwayat ini merupakan bukti yang jelas tentang
keberanian dan keperkasaan yang luar biasa dari kekasih
Allah (Ibrahim) ini. Tekadnya untuk menghancurkan
manifestasi dan sarana kemusyrikan tak dapat
disembunyikan dari rakyat Namrud. Dengan celaan dan
kecamannya, beliau telah menyatakan perlawanan dan
kebenciannya yang luar biasa terhadap penyembahan
berhala secara sangat nyata. Beliau mengatakan secara
terbuka dan jelas, "Apabila kamu tidak berhenti dari
praktek yang memalukan itu, aku akan membuat keputusan
tentang mereka." Dan pada hari kepergian orang-orang ke
hutan, beliau berkata secara terang-terangan, "Demi
Tuhan, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya
terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi
meninggalkannya." (QS, al-Anbiya', 21:57)
 
'Allamah Majlisi mengutip dari Imam Ja'far
ash-Shadiq, "Gerakan dan perjuangan satu orang melawan
ribuan orang musyrik merupakan bukti nyata akan
keberanian dan kesabaran Ibrahim, yang tidak
mengkhawatirkan jiwanya dalam mengangkat asma Allah dan
memperkuat dasar penyembahan kepada Tuhan yang Esa."
(lihat Bihar al-Anwar, V, hal. 130).
 
2. Sepintas nampak seakan penghancuran berhala oleh
Ibrahim merupakan pemberontakan bersenjata dan
permusuhan, tetapi dari percakapannya dengan para
hakim, terbukti bahwa gerakan ini sebenarnya mempunyai
aspek dakwah. Karena, beliau memandang bahwa sebagai
sarana terakhir untuk membangunkan kebijaksanaan dan
kesadaran hati nurani manusia, beliau harus
menghancurkan berhala-berhala itu, kecuali berhala yang
besar, dan meletakkan kapak di bahunya, supaya mereka
dapat mengadakan penyelidikan lebih jauh tentang
sebab-sebab insiden itu. Dan, sebagai ternyata pada
akhirnya, mereka hanya akan menganggap pandangan itu
sebagai ejekan, dan sama sekali tak akan percaya kalau
penghancuran itu dilakukan oleh berhala besar itu.
Dengan demikian, beliau dapat menggunakan hal itu untuk
mendakwahkan pendapatnya dengan mengatakan, "Menurut
pengakuan kalian sendiri, berhala besar itu tidak
mempunyai kekuasaan sedikit pun, lalu mengapa kalian
menyembahnya?" Ini menunjukkan bahwa sejak awal mula,
para nabi hanya menggunakan logika dan argumen sebagai
senjata mereka yang ampuh, dan itu senantiasa membawa
hasil. Kalau tidak, maka apa artinya penghancuran
berhala ketimbang bahaya bagi nyawa Ibrahim? Tindakan
ini tentulah mengandung makna besar bagi misinya, dari
sisi pandang alasan penalaran, sehingga beliau sedia
mengorbankan nyawanya untuk itu.
 
3. Ibrahim sadar bahwa sebagai akibat tindakannya,
hidupnya akan berakhir. Karenanya, menurut anggapan
umum, ia mestinya akan terguncang, menyembunyikan diri,
atau sekurang-kurangnya berjanji akan berhenti membuat
"lelucon." Tetapi, ia sepenuhnya menguasai semangat dan
emosinya. Misalnya, ketika memasuki kuil berhala, ia
mendekati setiap berhala dan menawarkan mereka makan,
secara olok-olok. Setelah ternyata sia-sia, beliau
menjadikan isi kuil berhala itu onggokan penggalan
kayu, dan menganggap semua itu sebagai sesuatu yang
benar-benar biasa saja, seakan-akan hal itu tidak akan
disusul oleh kematiannya sendiri. Ketika muncul di
pengadilan, beliau menjawab pertanyaan mereka,
"Sesungguhnya seseorang telah melakukannya. Pemimpinnya
ialah yang ini. Karena itu, tanyakanlah kepadanya jika
ia dapat berbicara." Lelucon demikian di hadapan
pengadilan hanya dapat muncul dari seseorang yang siap
sedia menghadapi segala kesudahan tanpa rasa takut atau
ngeri dalam hatinya.
 
Bahkan, yang lebih menakjubkan lagi ialah sikap
Ibrahim pada saat ia ditempatkan pada pelontar, dan
mengetahui dengan pasti bahwa ia segera akan berada di
tengah api -yang kayu bakarnya tadinya dikumpulkan
orang Babilon untuk melaksanakan upacara suci
keagamaan, dan yang nyalanya membubung dengan dahsyat
sehingga bahkan burung rajawali tak berani terbang di
atasnya. Pada saat itu, Malaikat Jibril turun dan
langit seraya menyatakan kesediaannya untuk memberikan
segala pertolongan kepada Ibrahim. Jibril berkata, "Apa
keinginanmu?" Ibrahim menjawab, "Aku mempunyai hasrat.
Tetapi aku tak dapat memberitahukannya kecuali kepada
Tuhanku." (lihat Al-'Uyun, hal. 136; al-Amali, oleh
Shaduq, hal. 274; Bihar al-Anwar, hal. 35). Jawaban ini
jelas menunjukkan keluhuran dan kebesaran rohani
Ibrahim.
 
Namrud menanti dengan cemas dan gelisah karena
dendam kesumatnya kepada Ibrahim. Ia begitu ingin
melihat bagaimana api menelannya. Pelontar disiapkan.
Dengan satu sentakan, tubuh Ibrahim, si jawara tauhid
Ilahi, terlempar ke api. Namun, kehendak Tuhan Ibrahim
mengubah neraka buatan itu menjadi taman dengan cara
yang amat mengejutkan mereka, sehingga Namrud tanpa
sengaja berpaling kepada Azar dan berkata, "Tuhan
Ibrahim mencintainya." (Tafsir al-Burhan, III, hal.
64).
 
Walaupun adanya kejadian itu, Ibrahim tak dapat
mendakwahkan agamanya dengan kebebasan penuh. Akhirnya,
pemerintah waktu itu memutuskan, setelah bermusyawarah,
untuk membuang Ibrahim. Ini membuka suatu bab baru
dalam kehidupan Ibrahim dan menjadi awal perjalanannya
ke Suriah, Palestina, Mesir, dan Hijaz.
 
BAB BARU DALAM KEHIDUPAN IBRAHIM
 
Pengadilan di  Babilonia  memutuskan  membuang  Ibrahim
dari   negeri   itu.  Beliau  pun  meninggalkan  tempat
kelahirannya,  lalu  pergi  ke  Mesir  dan   Palestina.
Amaliqa,    yang    menguasai    wilayah-wilayah   itu,
menyambutnya dengan  hangat  dan  memberikan  kepadanya
banyak  hadiah,  satu di antaranya adalah seorang budak
perempuan bernama Hajar.
 
Istri Ibrahim, Sarah, belum melahirkan anak hingga saat
itu.  Oleh  karena  itu,  ia menyarankan Ibrahim supaya
kawin  dengan  Hajar,  dengan  harapan  kiranya  beliau
diberkati  seorang  putra,  yang  akan  menjadi  sumber
kebahagiaan   dan   kesenangan    mereka.    Perkawinan
dilangsungkan,  dan  Hajar  kemudian melahirkan seorang
putra  yang  diberi  nama  Ismai'l.  Itu  terjadi  jauh
sebelum  Sarah  hamil dan melahirkan seorang putra yang
diberi nama Ishaq. (Lihat Sa'd  as-Su'ud,  hal.  41-42;
Bihar al-Anwar, hal. 118).
 
Setelah   beberapa   waktu,  sebagaimana  diperintahkan
Allah, Ibrahim membawa Isma'il  dan  ibunya,  Hajar  ke
selatan (Mekah), dan menempatkan mereka di suatu lembah
yang tak dikenal. Lembah ini tak berpenghuni, dan hanya
kafilah   dari  Sunah  ke  Yaman  dan  sebaliknya  yang
memasang tenda di sana. Bila tidak ada kafilah,  tempat
ini benar-benar sepi dan hanya merupakan hamparan pasir
membakar sebagaimana bagian-bagian tanah Arab lainnya.
 
Tinggal di tempat yang  mengerikan  itu  sungguh  sulit
bagi    seorang   perempuan   yang   telah   melewatkan
hari-harinya  di  negeri  Amaliqa.  Terik  gurun   yang
membakar dan anginnya yang amat sangat panas memberikan
bayangan kematian  di  hadapan  mata.  Ibrahim  sendiri
sangat  prihatin atas kenyataan ini. Sementara memegang
kendali hewan tunggangannya dengan  maksud  mengucapkan
selamat  tinggal  kepada istri dan anaknya, air matanya
mengalir, dan ia berkata  kepada  Hajar,  "Wahai.Hajar!
Semua  ini  dilakukan  menurut perintah Yang Mahakuasa,
dan perintah-Nya tak dapat dilawan.  Bersandarlah  pada
rahmat Allah, dan yakinlah bahwa Ia tak akan menistakan
kamu." Kemudian  Ibrahim  berdoa  kepada  Allah  dengan
penuh  khusyuk,  "Ya  Tuhanku,  jadikanlah  negeri  ini
negeri yang aman sentosa,  dan  berikanlah  rezeki  dan
buah-buahan  kepada  penduduknya  yang  beriman  kepada
Allah dan Hari Kemudian." (QS, al-Baqarah, 2:126).
 
Ketika  sedang  menuruni  bukit,  Ibrahim  menengok  ke
belakang  dan  berdoa  kepada  Allah  untuk mencurahkan
rahmat-Nya kepada mereka.
 
Walaupun perjalanan tersebut tampak  sangat  sulit  dan
susah,   di   kemudian  hari  terbukti  bahwa  hal  itu
mengandung makna yang amat penting. Di antaranya adalah
pembangunan  Ka'bah  yang  memberikan  dasar yang agung
bagi  para  penganut  tauhid  untuk  mengibarkan  panji
penyembahan  kepada  Allah  Yang  Esa  di  Arabia,  dan
merupakan fundasi gerakan keagamaan  yang  besar,  yang
akan  mendapat  bentuk  di kemudian hari, yaitu gerakan
besar yang beroperasi di negeri  ini  melalui  pengunci
segala nabi.
 
BAGAIMANA TERJADINYA SUMBER AIR ZAM-ZAM
 
Ibrahim  mengambil  kendali hewan tunggangannya. Dengan
air mata, ia memohon diri kepada  tanah  Mekah,  Hajar,
dan putranya. Tetapi, tak berapa lama kemudian, makanan
dan minuman yang dapat diperoleh  si  anak  dan  ibunya
habis,  dan air susu Hajar pun kering. Kondisi putranya
mulai merosot. Air mata mengucur dari ibu yang terasing
itu  dan  membasahi  pangkuannya.  Dalam  keadaan  amat
bingung, ia bangkit berdiri lalu pergi ke bukit  Shafa.
Dari sana ia melihat suatu bayangan dekat bukit Marwah.
Ia pun lari  ke  sana.  Namun,  pemandangan  palsu  itu
sangat mengecewakannya. Tangisan dan keresahan putranya
tercinta menyebabkan ia lari lebih  keras  ke  sana  ke
mari.  Demikianlah,  ia berlari tujuh kali antara bukit
Shafa  dan  Marwah  untuk  mencari  air,  tetapi   pada
akhirnya  ia  kehilangan  semua  harapan,  lalu kembali
kepada putranya.
 
Si anak tentulah telah hampir sampai pada nafasnya yang
terakhir.  Kemampuannya  meratap  atau  menangis  sudah
tiada.  Namun,  justru  pada  saat  itu   doa   Ibrahim
terkabul.  Ibu  yang  letih  lesu itu melihat bahwa air
jernih telah mulai keluar dari bawah kaki Isma'il. Sang
ibu,  yang  sedang menatap putranya dan mengira ia akan
mati beberapa saat lagi, merasa sangat gembira  melihat
air  itu. Ibu dan anak itu minum sampai puas, dan kabut
putus asa  vang  telah  merentangkan  bayangannya  pada
kehidupan   mereka   pun   terusir  oleh  angin  rahmat
Ilahi.(lihat Tafsir al-Qummi, hal. 52; Bihar  al-Anwar,
II, hal. 100).
 
Munculnya  sumber air ini, yang dinamakan Zamzam, sejak
hari itu, membuat burung-burung air terbang di atasnya,
membentangkan   sayapnya  yang  lebar  sebagai  penaung
kepala  ibu  dan  anak  yang   telah   menderita   itu.
Orang-orang  dari  suku  Jarham, yang tinggal jauh dari
lembah ini, melihat burung-burung yang  beterbangan  ke
sana  ke mari itu. Mereka lalu menyimpulkan bahwa telah
ada air di sekitarnya. Mereka mengutus dua orang  untuk
mengetahui keadaan itu. Setelah lama berkeliling, kedua
orang itu sampai ke  pusat  rahmat  Ilahi  itu.  Ketika
mendekat,  mereka  melihat  seorang  wanita dan seorang
anak sedang duduk di tepi suatu  genangan  air.  Mereka
segera  kembali  dan  melaporkan  hal  itu  kepada para
pemimpin sukunya. Para anggota suku itu segera memasang
kemah  mereka di sekitar sumber air yang diberkati itu,
dan Hajar pun  terlepas  dari  kesulitan  dan  pahitnya
kesepian yang dideritanya. Isma'il tumbuh sampai dewasa
sebagai pemuda yang ramah.  Ia  pun  mengadakan  ikatan
perkawinan  dengan wanita suku Jarham. Dengan demikian,
ia beroleh  dukungan  dan  menjadi  anggota  masyarakat
mereka.  Oleh  karena  itu,  dari  sisi  ibu, keturunan
Isma'il berfamili dengan suku Jarham.
 
MEREKA BERTEMU KEMBALI
 
Setelah meninggalkan putranya yang  tercinta  di  tanah
Mekah atas perintah Allah Yang Mahakuasa, kadang-kadang
Ibrahim berpikir untuk  pergi  melihat  putranya.  Pada
salah  satu  perjalanannya,  ia  sampai  di  Mekah  dan
mendapatkan bahwa putranya tidak ada  di  rumah.  Waktu
itu,  Isma'il  telah  tumbuh  menjadi lelaki dewasa dan
telah kawin dengan seorang gadis suku  Jarham.  Ibrahim
bertanya  kepada  istri  Ismai'l,  "Di  mana  suamimu?"
Perempuan  itu  menjawab,  "Ia   telah   keluar   untuk
berburu!" Kemudian Ibrahim bertanya kepadanya apakah ia
mempunyai makanan. Ia menjawab tak ada.
 
Ibrahim sangat sedih melihat kekasaran istri  putranya.
Ia  lalu  berkata  kepada menantunya itu, "Bila Isma'il
pulang, sampaikan kepadanya  salam  saya,  dan  katakan
pula  kepadanya untuk mengganti ambang pintu rumahnya."
Kemudian Ibrahim pergi.
 
Ketika  kembali,  Isma'il  mencium  bau  ayahnya.  Dari
keterangan  istrinya,  ia  menyadari  bahwa  orang yang
telah mengunjungi rumahnya adalah  memang  ayahnya.  Ia
juga  mengerti  bahwa  pesan  yang ditinggalkan ayahnya
berati   bahwa    beliau    (Ibrahim)    menghendakinya
menceraikan   istrinya   sekarang  dan  menggantikannya
dengan yang lain, karena beliau memandang istrinya yang
sekarang  tidak  pantas  menjadi  kawan hidupnya.(lihat
Bihar al-Anwar,  hal.  112,  sebagaimana  dikutip  dari
Qishash al-Anbiya'))
 
Mungkin  dapat  dipertanyakan mengapa setelah melakukan
perjalanan sejauh itu, Ibrahim  tidak  menunggu  sampai
putranya  pulang dari berburu, tapi langsung pergi lagi
tanpa  melihatnya.  Para  sejarawan  menerangkan  bahwa
Ibrahim   pulang   dengan   tergesa-gesa  karena  telah
berjanji kepada Sarah bahwa  beliau  tak  akan  tinggal
lama   di   sana.   Setelah  perjalanan  ini,  ia  juga
diperintahkan Allah Yang Mahakuasa  untuk  melaksanakan
suatu perjalanan lagi ke Mekah, untuk mendirikan Ka'bah
guna menarik hati orang yang beriman tauhid .
 
Al-Qur'an menyatakan bahwa menjelang hari-hari terakhir
Ibrahim,   Mekah  telah  tumbuh  menjadi  sebuah  kota,
karena,  setelah  menyelesaikan  tugasnya,  ia   berdoa
kepada Allah, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri
yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku  dari
menyembah  berhala."  (QS  Ibrahim,  14:35). Dan ketika
tiba di gurun Mekah, ia berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri  ini  negeri yang aman sentosa." (QS al-Baqarah,
2:126).

Oleh Ja'far Subhani, hal. 50 - 69
Judul buku: AR-RISALAH
Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW

Tinggalkan komentar